Artikel Kemiskinan Indonesia
Pada mulanya adalah
kemiskinan! Lalu, pengangguran, kemudian kekerasan dan kejahatan (crime). Martin Luther King
(1960) mengingatkan, “you are as
strong as the weakest of the people”―kita tidak akan menjadi bangsa
yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk
menjadi bangsa yang besar, mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam
kemiskinan dan lemah!
Sesungguhnya,
kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan,
pemerintah kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia
(Pulau Jawa). Pada saat itu, indikator kemiskinan hanya dilihat dari
pertambahan penduduk yang pesat (Soejadmoko, 1980).
Kini,
di Indonesia, jerat kemiskinan itu makin akut! Jumlah penduduk miskin (penduduk
dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada
Maret 2011 saja mencapai 30,02 juta atau 12,49 persen (www.bps.go.id).
Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar
seperti di Jakarta .
Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi, melainkan kemiskinan
kultural dan struktural.
Pertanyaannya,
seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia ? Jawabannya, mungkin
sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat
multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari
banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Banyaknya orang
antre berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat, sedekah atau amal
jariah dalam bentuk bagi-bagi uang dan sembako oleh orang-orang kaya atau
pejabat di negeri ini adalah buktinya.
Hakikat Kemiskinan
Meski kemiskinan
merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia, tetapi pemahaman kita
terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang
menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada
awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu
dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja. Hari Susanto (2006) mengatakan,
umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau
sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak, bisa dipantau
dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan, atau tingkat konsumsi seseorang
atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai
faktor, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bahasa latin ada
istilah esse (to be)/(martabat manusia) dan habere (to
have)/(harta atau kepemilikan). Oleh sebagian besar orang, persoalan
kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah
orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan
bersifat ekonomis semata (Koerniatmanto Soetoprawiryo, “Hukum bagi Si Miskin,”
Kompas, 28/2/ 2007).
Kondisi Umum Masyarakat
Mari kita cermati
kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan sandang, pangan dan papan. Bahkan hanya untuk mempertahankan hak-hak
dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi, mengembangkan hidup
yang terhormat dan bermartabat. Bapenas (2006), mendefinisikan hak-hak dasar
sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta
rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun
laki-laki.
Krisis ekonomi yang
berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin
sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari
tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2011 jumlah penderita
buta aksara di Indonesia
mencapai 8,5 juta. 5,1 juta di antaranya adalah perempuan (Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Belum lagi tingkat pengangguran
yang “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka Februari 2011 di Indonesia
sebanyak 8,12 juta orang (BPS). Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi,
kelaparan, busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking”
pun masih ada di sebagian wilayah Indonesia .
Dampak Kemiskinan
Dampak
dari kemisikinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama,
pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka awal tahun 2011
ini saja, sebanyak 8,12 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis,” mengingat
krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya
pengangguran, berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak
bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah
menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak
secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi dan tingkat pengeluaran
rata-rata.
Dalam konteks daya
saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air
akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap
digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan
bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli, di tengah melemahnya
daya beli masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka
kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan
terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga perempatnya (74,99
persen) (Razali Ritonga, “Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa,” Republika, 5/3/2007).
Meluasnya pengangguran
sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi
juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro
atau pertumbuhan (growth).
Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya, banyak
perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja, sebab tak mampu lagi
membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan
orang terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK
(Putus Hubungan Kerja).
Kedua,
kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan
efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah
melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang
dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan.
Misalnya, merampok, menodong, mencuri atau menipu (dengan cara mengintimidasi
orang lain) di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya
ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia
mendapatkan uang dari memalak.
Ketiga,
pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi
dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat
lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau
dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk
makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik
becak misalnya, yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari
kemiskinan, ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher?
Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan
tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya
negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya.
Akhirnya,
kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus
sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu
akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.
Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di
era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
Keempat,
kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir
setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan
tarif/ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau
oleh kalangan miskin.
Kelima, konflik sosial bernuansa
SARA (istilah Orba). Tanpa bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan
dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari
kemiskinan yang kita alami. Akibat ketiadaan jaminan keadilan, “keamanan” dan
perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang objektif
disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena
bencana alam yang kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap
mingkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar
kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia , baik
di perdesaan maupun perkotaan.
Musuh Utama Bangsa
Tidak dapat dipungkiri
bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab
kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang,
khususnya Indonesia .
Mengapa demikian? Jawabannya, karena selama ini pemerintah (limbo) belum memiliki strategi
dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan
kemiskinan masih bersifat pro buget,
belum pro poor. Sebab
dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran dan kekerasan, selalu
diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi
(makro) semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik.
Padahal kebijakan
pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau
non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up
intervention” dengan padat karya, atau dengan memberikan pelatihan
kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha (enterpreneur).
Karena itu, situasi di Indonesia
sekarang jelas menunjukan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan
karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan (tidak memiliki
kesempatan yang sama) dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa
“naik kelas” atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Paradigma Pembangunan
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan di atas, kuncinya adalah kebijakan dan strategi
pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah
boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar, tetapi juga
harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian
rakyat. Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri
sendiri-sendiri. Sebaliknya, keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling
menyokong. Pendek kata, harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.
Perekonomian nasional
dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita
tersebut. Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan perekonomian
nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta
rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air.
Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi
berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
(pasal lima
Pancasila). Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat
maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai.
Bung Hatta mempertegas
pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai
jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia . Sebagaimana ditulisnya,
“demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di
sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak,
manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu
cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh
lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Intinya tanpa pemaknaan
yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka
sia-sialah pembentukan sebuah negara, mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh
karenanya, pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang
hakiki.
No comments:
Post a Comment