Menu

Saturday 8 November 2014

Artikel Kemiskinan Indonesia

Artikel Kemiskinan Indonesia


Pada mulanya adalah kemiskinan! Lalu, pengangguran, kemudian kekerasan dan kejahatan (crime). Martin Luther King (1960) mengingatkan, “you are as strong as the weakest of the people”―kita tidak akan menjadi bangsa yang besar kalau mayoritas masyarakatnya masih miskin dan lemah. Maka untuk menjadi bangsa yang besar, mayoritas masyarakatnya tidak boleh hidup dalam kemiskinan dan lemah!
Sesungguhnya, kemiskinan bukanlah persoalan baru di negeri ini. Sekitar seabad sebelum kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda mulai resah atas kemiskinan yang terjadi di Indonesia (Pulau Jawa). Pada saat itu, indikator kemiskinan hanya dilihat dari pertambahan penduduk yang pesat (Soejadmoko, 1980). 
Kini, di Indonesia, jerat kemiskinan itu makin akut! Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada Maret 2011 saja mencapai 30,02 juta atau 12,49 persen (www.bps.go.id). Kemiskinan tidak hanya terjadi di perdesaan tapi juga di kota-kota besar seperti di Jakarta. Kemiskinan juga tidak semata-mata persoalan ekonomi, melainkan kemiskinan kultural dan struktural.
Pertanyaannya, seberapa parah sesungguhnya kemiskinan di Indonesia? Jawabannya, mungkin sangat parah. Sebab, kemiskinan yang terjadi saat ini bersifat jadi sangat multidimensional. Hal tersebut bisa kita buktikan dan dicarikan jejaknya dari banyaknya kasus yang terjadi di seluruh pelosok negeri ini. Banyaknya orang antre berdesakan dan terinjak-injak saat pembagian zakat, sedekah atau amal jariah dalam bentuk bagi-bagi uang dan sembako oleh orang-orang kaya atau pejabat di negeri ini adalah buktinya.
Hakikat Kemiskinan
Meski kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang setua peradaban manusia, tetapi pemahaman kita terhadapnya dan upaya-upaya untuk mengentaskannya belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Para pengamat ekonomi pada awalnya melihat masalah kemiskinan sebagai “sesuatu” yang hanya selalu dikaitkan dengan faktor-faktor ekonomi saja. Hari Susanto (2006) mengatakan, umumnya instrumen yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut miskin atau tidak, bisa dipantau dengan memakai ukuran peningkatan pendapatan, atau tingkat konsumsi seseorang atau sekelompok orang. Padahal hakikat kemiskinan dapat dilihat dari berbagai faktor, apakah itu sosial-budaya, ekonomi, politik maupun hukum.
Dalam bahasa latin ada istilah esse (to be)/(martabat manusia) dan habere (to have)/(harta atau kepemilikan). Oleh sebagian besar orang, persoalan kemiskinan lebih dipahami dalam konteks habere. Orang miskin adalah orang yang tidak menguasai dan memiliki sesuatu. Urusan kemiskinan urusan bersifat ekonomis semata (Koerniatmanto Soetoprawiryo, “Hukum bagi Si Miskin,” Kompas, 28/2/ 2007).
Kondisi Umum Masyarakat
Mari kita cermati kondisi masyarakat dewasa ini. Banyak dari mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Bahkan hanya untuk mempertahankan hak-hak dasarnya serta bertahan hidup saja tidak mampu. Apalagi, mengembangkan hidup yang terhormat dan bermartabat. Bapenas (2006), mendefinisikan hak-hak dasar sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, serta rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan menambah panjang deret persoalan yang membuat negeri ini semakin sulit keluar dari jeratan kemiskinan. Hal ini dapat kita buktikan dari tingginya tingkat putus sekolah dan buta huruf. Hingga 2011 jumlah penderita buta aksara di Indonesia mencapai 8,5 juta. 5,1 juta di antaranya adalah perempuan (Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Belum lagi tingkat pengangguran yang “signifikan.” Jumlah pengangguran terbuka Februari 2011 di Indonesia sebanyak 8,12 juta orang (BPS). Ditambah lagi kasus gizi buruk yang tinggi, kelaparan, busung lapar, dan terakhir, masyarakat yang makan “Nasi Aking” pun masih ada di sebagian wilayah Indonesia.
Dampak Kemiskinan
            Dampak dari kemisikinan terhadap masyarakat umumnya begitu banyak dan kompleks. Pertama, pengangguran. Sebagaimana kita ketahui jumlah pengangguran terbuka awal tahun 2011 ini saja, sebanyak 8,12 juta orang. Jumlah yang cukup “fantastis,” mengingat krisis multidimensional yang sedang dihadapi bangsa saat ini. Dengan banyaknya pengangguran, berarti banyak masyarakat tidak memiliki penghasilan karena tidak bekerja. Karena tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Secara otomatis pengangguran telah menurunkan daya saing dan beli masyarakat. Sehingga akan memberikan dampak secara langsung terhadap tingkat pendapatan, nutrisi dan tingkat pengeluaran rata-rata.
Dalam konteks daya saing secara keseluruhan, belum membaiknya pembangunan manusia di Tanah Air akan melemahkan kekuatan daya saing bangsa. Ukuran daya saing ini kerap digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu bangsa dalam bersaing dengan bangsa-bangsa lain secara global. Dalam konteks daya beli, di tengah melemahnya daya beli masyarakat, kenaikan harga beras akan berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. Perkiraan itu didasarkan atas kontribusi pangan yang cukup dominan terhadap penentuan garis kemiskinan, yakni hampir tiga perempatnya (74,99 persen) (Razali Ritonga, “Kemiskinan dan Daya Saing Bangsa,” Republika, 5/3/2007).
Meluasnya pengangguran sebenarnya bukan saja disebabkan rendahnya tingkat pendidikan seseorang, tetapi juga disebabkan kebijakan pemerintah yang terlalu memprioritaskan ekonomi makro atau pertumbuhan (growth). Ketika terjadi krisis ekonomi di kawasan Asia tahun 1997 silam misalnya, banyak perusahaan yang melakukan perampingan jumlah tenaga kerja, sebab tak mampu lagi membayar gaji karyawan akibat defisit anggaran perusahaan. Akibatnya jutaan orang terpaksa harus dirumahkan, atau dengan kata lain meraka terpaksa di-PHK (Putus Hubungan Kerja).
            Kedua, kekerasan. Sesungguhnya kekerasan yang marak terjadi akhir-akhir ini merupakan efek dari pengangguran. Karena seseorang tidak mampu lagi mencari nafkah melalui jalan yang benar dan halal. Ketika tak ada lagi jaminan bagi seseorang dapat bertahan dan menjaga keberlangsungan hidupnya, maka jalan pintas pun dilakukan. Misalnya, merampok, menodong, mencuri atau menipu (dengan cara mengintimidasi orang lain) di atas kendaraan umum dengan berpura-pura kalau sanak keluarganya ada yang sakit dan butuh biaya besar untuk operasi. Sehingga dengan mudah ia mendapatkan uang dari memalak.
            Ketiga, pendidikan. Tingkat putus sekolah yang tinggi merupakan fenomena yang terjadi dewasa ini. Mahalnya biaya pendidikan membuat masyarakat miskin tidak dapat lagi menjangkau dunia sekolah atau pendidikan. Jelas mereka tak dapat menjangkau dunia pendidikan yang sangat mahal itu. Sebab, mereka begitu miskin. Untuk makan satu kali sehari saja mereka sudah kesulitan. Bagaimana seorang penarik becak misalnya, yang memiliki anak cerdas bisa mengangkat dirinya dari kemiskinan, ketika biaya untuk sekolah saja sudah sangat mencekik leher? Sementara anak-anak orang yang berduit bisa bersekolah di perguruan-perguruan tinggi mentereng dengan fasilitas lengkap. Jika ini yang terjadi, sesungguhnya negara sudah melakukan “pemiskinan struktural” terhadap rakyatnya.
            Akhirnya, kondisi masyarakat miskin semakin terpuruk lebih dalam. Tingginya tingkat putus sekolah berdampak pada rendahya tingkat pendidikan seseorang. Dengan begitu akan mengurangi kesempatan seseorang mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Ini akan menyebabkan bertambahnya pengangguran akibat tidak mampu bersaing di era globalisasi yang menuntut keterampilan di segala bidang.
            Keempat, kesehatan. Seperti kita ketahui, biaya pengobatan sekarang sangat mahal. Hampir setiap klinik pengobatan apalagi rumah sakit swasta besar menerapkan tarif/ongkos pengobatan yang biayanya melangit. Sehingga, biayanya tak terjangkau oleh kalangan miskin.
            Kelima, konflik sosial bernuansa SARA (istilah Orba). Tanpa bersikap munafik, konflik SARA muncul akibat ketidakpuasan dan kekecewaan atas kondisi miskin yang akut. Hal ini menjadi bukti lain dari kemiskinan yang kita alami. Akibat ketiadaan jaminan keadilan, “keamanan” dan perlindungan hukum dari negara, persoalan ekonomi-politik yang objektif disublimasikan ke dalam bentrokan identitas yang subjektif.
Terlebih lagi fenomena bencana alam yang kerap melanda negeri ini, yang berdampak langsung terhadap mingkatnya jumlah orang miskin. Kesemuanya menambah deret panjang daftar kemiskinan. Dan, semuanya terjadi hampir merata di setiap daerah di Indonesia, baik di perdesaan maupun perkotaan.
Musuh Utama Bangsa
Tidak dapat dipungkiri bahwa yang menjadi musuh utama dari bangsa ini adalah kemiskinan. Sebab kemiskinan telah menjadi kata yang menghantui negara-negra berkembang, khususnya Indonesia. Mengapa demikian? Jawabannya, karena selama ini pemerintah (limbo) belum memiliki strategi dan kebijakan pengentasan kemiskinan yang jitu. Kebijakan pengentasan kemiskinan masih bersifat pro buget, belum pro poor. Sebab dari setiap permasalahan seperti kemiskinan, pengangguran dan kekerasan, selalu diterapkan pola kebijakan yang sifatnya struktural dan pendekatan ekonomi (makro) semata. Semua dihitung berdasarkan angka-angka atau statistik.
Padahal kebijakan pengentasan kemiskinan juga harus dilihat dari segi non-ekonomis atau non-statistik. Misalnya, pemberdayaan masyarakat miskin yang sifatnya “buttom-up intervention” dengan padat karya, atau dengan memberikan pelatihan kewirauasahaan untuk menumbuhkan sikap dan mental wirausaha (enterpreneur).
Karena itu, situasi di Indonesia sekarang jelas menunjukan ada banyak orang terpuruk dalam kemiskinan bukan karena malas bekerja. Namun, karena struktur lingkungan (tidak memiliki kesempatan yang sama) dan kebijakan pemerintah tidak memungkinkan mereka bisa “naik kelas” atau melakukan mobilitas sosial secara vertikal.
Paradigma Pembangunan
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, kuncinya adalah kebijakan dan strategi pembangunan yang komprehensif dan berkelanjutan jangka panjang. Pemerintah boleh saja mengejar pertumbuhan-ekonomi makro dan ramah pada pasar, tetapi juga harus ada pembelaan pada sektor riil agar berdampak luas pada perekonomian rakyat. Ekonomi makro-mikro tidak bisa dipisahkan dan dianggap berdiri sendiri-sendiri. Sebaliknya, keduanya harus seimbang-berkelindan serta saling menyokong. Pendek kata, harus ada simbiosis mutualisme di antara keduanya.
Perekonomian nasional dengan demikian menjadi sangat kokoh dan vital dalam usaha pemenuhan cita-cita tersebut. Sebagaimana dikemukakan Bung Karno, yang dimaksud dengan perekonomian nasional adalah sebuah perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat banyak dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Perekonomian yang tujuan utamanya adalah pemerataan dan pertumbuhan ekonomi berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia (pasal lima Pancasila). Sebab, tanpa perekonomian nasional yang kuat dan memihak rakyat maka mustahil cita-cita tersebut dapat tercapai.
Bung Hatta mempertegas pentingnya penyelenggaraan ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi sebagai jalan dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Sebagaimana ditulisnya, “demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960).
Intinya tanpa pemaknaan yang subtansial dari kemerdekaan politik menjadi kemerdekaan ekonomi maka sia-sialah pembentukan sebuah negara, mubazirlah sebuah pemerintahan. Oleh karenanya, pentingnya menghapus kemiskinan sebagai prestasi pembangunan yang hakiki.

No comments:

Post a Comment